Posts Tagged ‘1436 H’

Sebagai orang yang beriman dan percaya pada rukun Iman, maka mustahil bagi kita untuk kemudian mengabaikan ataupun mungkin tidak mengambil ‘ibrah dari setiap peristiwa dan kejadian yang Allah berikan bagi nabi dan rasul-Nya, termasuk pula Nabi Ibrahim AS. Ummat Muslim di seluruh dunia pun, pada akhirnya akan kembali melangitkan takbir dan merayakan hari besarnya yakni ‘Idul Adha, yang akan jatuh pada 10 Dzulhijjah. Bagi saya pribadi,  tidak ingin hanya karena perbedaan tanggal jatuhnya hari raya tersebut menjadikan kita lupa untuk mengambil hikmah dan pelajaran yang telah Nabi Ibrahim ajarkan melalui peristiwa tersebut.

Dari keturunan Nabi Ibrahim AS., Allah memberikan rahmat yakni banyaknya nabi dan rasul yang berasal dari garis keturunan beliau. Bahkan Rasulullah SAW. pun jika ditarik garis keturunan ke atas, maka Rasulullah memiliki garis keturunan Nabi Ibrahim AS. Nabi Ibrahim adalah seorang nabi yang terlahir dari keluarga dengan seorang ayah yang merupakan pembuat patung berhala di kala zaman penguasa Raja Namrud. Namun, hal tersebut tidak membuat Nabi Ibrahim mengikuti agama dan keyakinan ayahnya. Adalah hidayah dan mukjizat dari Allah SWT., Nabi Ibrahim terlahir dengan sikap kritis dan kecerdasan yang luar biasa. Ia mencari sendiri akan kebenaran Rabb Semesta Alam. Dalam Al-Qur’an dikisahkan pada mulanya Nabi Ibrahim AS. mengira matahari adalah Tuhannya, namun ketika malam datang, ia digantikan oleh bulan dan bintang, maka Nabi Ibrahim pun mengira bahwa tidaklah mungkin matahari sebagai tuhannya, namun bulan dan bintang lah tuhannya saat ini. Namun, tatkala malam berganti dengan siang, maka bulan dan bintang pun tiada, berganti matahari. Dengan akal yang Allah SWT. berikan, maka Nabi Ibrahim AS. yang masih muda saat itu, mencapai sebuah kesimpulan yang sangat luar biasa. Nabi Ibrahim AS. pun mengatakan bahwa Tuhannya adalah Dzat Maha Suci yang menciptakan alam semesta dan seluruh isinya, yang mempergantikan siang dan malam dengan kesempurnaan-Nya. Itulah sosok Nabi Ibrahim AS. pada masa mudanya yang sudah mampu untuk memberikan kesempurnaan jawaban dengan pemahaman yang Allah berikan melalui kecerdasan yang dimilikinya.

Kisah Nabi Ibrahim, tentu saja tidak cukup di sini. Lalu muncul pertanyaan dalam pribadi, apa yang membuatnya menjadi nabi dengan teladan yang memberikan pelajaran keikhlasan melalui peringatan ‘Idul Adha yang selalu diperingati dengan suka cita oleh seluruh umat Muslim di dunia tepatnya pada tanggal 10 Dzulhijjah?

Nabi Ibrahim dalam sejarah Islam dikisahkan menikah dengan seorang perempuan shalihah bernama, Siti Hajar. Dalam pernikahannya tersebut, Nabi Ibrahim dan Siti Hajar memiliki kesabaran yang luar biasa untuk terus memanjatkan doa agar kemudian Allah memberikan keturunan di usia senja mereka, yang kala itu usia Nabi Ibrahim mencapai 90 tahun. Dalam penantian mereka, doa kepada Allah SWT. terus mereka panjatkan, tanpa ada sebuah keraguan. Sebuah keyakinan akan setiap doa yang akan Allah berikan jawaban dan hal ini pun kemudian berbuah dengan kasih sayang Allah yang memberikan kelahiran seorang putra dari rahim Siti Hajar bernama Nabi Ismail. Sungguh sebuah perasaan yang luar biasa kala itu, seorang putra yang sudah dinantinya bertahun-tahun kini pun telah Allah anugerahkan. Namun, ternyata menginjak usia Nabi Ismail 7 tahun (namun dalam beberapa pendapat dikatakan berusia 13 tahun), Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih Nabi Ismail. Kisah ini Allah SWT. abadikan dalam Al Qur’an, Ash-Shaffat 100-107, yang artinya:

Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang  yang saleh.(100)
Maka Kami beri Dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.(101)
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.(102)

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).(103)
Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,(104)
Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, Sesungguhnya demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. .(105)
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.(106)
dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.(107)

Dalam kisah tersebut jelaslah bahwa Nabi Ibrahim kemudian berdialog dengan Nabi Ismail dan menanyakan terkait pendapat Nabi Ismail akan perintah Allah tersebut. Apa yang kemudian terjadi adalah sebuah hikmah di mana seorang Nabi Ismail tidak menolak apa yang sudah diperintahkan Allah kepada ayahnya, Nabi Ibrahim, bahkan Nabi Ismail pun ikhlas jika hal ini merupakan perintah dari Rabb Semesta Alam. Allah SWT. pun pada akhirnya mengganti Nabi Ismail dengan hewan sembelihan lainnya. Hal inilah yang kemudian mendasari adanya hari raya ‘Idul Adha.

Namun, apa yang kemudian dapat diambil dari peristiwa tersebut?

Dari peristiwa tersebut, penulis mencoba untuk mengambil sebuah hikmah yang sekiranya dapat diambil dari perisitiwa tersebut.
1. Ketaatan dan kesabaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail terhadap perintah Allah SWT.
Berdasarkan kisah tersebut, maka kita sebagai umat muslim dapat melihat, bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail memiliki ketaatan yang penuh atas perintah Rabb-Nya. Tidak ada tawar menawar dalam menjalankan syari’at yang sudah Allah gariskan, hal ini terlihat meskipun berat atas perintah tersebut, namun Nabi Ibrahim tetap melakukannya sesuai dengan perintah yang diberikan. Hal ini harus menjadi semangat bagi kita, terutama penulis, untuk terus menjadikan diri sebagai seorang yang bertakwa dalam kekaffahan tanpa mencari alasan apapun untuk pembenaran karena emosi dan nafsu yang timbul dari diri kita sendiri.

2. Dialog santun Nabi Ibrahim kepada Nabi Ismail yang memperlihatkan pendidikan akhlak dan moral
Dalam masalah pendidikan akhlak dan moral, dialog antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail mengajarkan sebuah percakapan yang demokratis namun kemudian mengikat dan dipertanggungjawabkan. Kesantunan seorang Nabi Ibrahim yang notabene adalah seorang ayah menjadi sebuah pembelajaran bagaimana kemudian Nabi Ibrahim tetap mengajarkan dialog santun dan penuh akan pembelajaran moral dan akhlak. Nabi Ibrahim tidak semena-mena atau mungkin langsung memaksa, namun Nabi Ibrahim tetap menanyakan perihal perintah Allah tersebut kepada Nabi Ismail. Begitu pula Nabi Ismail, tidak kemudian menyatakan menolak dengan kasar, bahkan beliau pun menjawab dengan memberikan ketenangan kepada Nabi Ibrahim untuk kemudian menjalankan perintah Allah SWT. Hal inilah yang dapat diterapkan, bahwa pendidikan yang tepat dengan penguatan keagamaan akan menjadikan sebuah keluarga, bahkan komunikasi dalam keluarga menjadi tenang dan menenangkan.

‘Idul Adha bukanlah sekedar sebuah simbol perayaan hari raya saja, namun harus menjadi sebuah manifestasi dalam mengambil hikmah agar kemudian dapat membangun kehidupan yang lebih baik dan berkualitas ke depannya. ‘idul Adha tidak kemudian hanya menjadi sebuah ritual saja, namun kemudian harus dapat diambil esensi dari peristiwa yang melatarbelakanginya, bahkan harus menjadi refleksi bagi semua umat muslim untuk mengambil setiap ‘ibrah dari peristiwa yang telah terjadi. Semoga Allah selalu menjadikan kita sebagai orang yang selalu mengambil hikmah dalam setiap perisitwa dan selalu memberikan hidayah dalam setiap perjalanan kehidupan kita menuju Surga-Nya.

Daftar Acuan:
1. https://www.facebook.com/notes/quranic-explorer-kamus-indeks-al-quran/kisah-kesabaran-nabi-ismail-sejarah-hari-idul-adha/437286008444
2. http://www.dakwatuna.com/2013/10/14/40719/meneladani-jiwa-pembelajar-nabi-ibrahim-as/#ixzz3kaiAiHS0
3. http://supervisiaceh2012.blogspot.co.id/2013/12/konsep-pendidikan-dalam-surat-ash.html

Salam hormat,
Penulis
Yogyakarta, 16 September 2015
Pemuda yang masih terus mencari dan haus akan Ilmu. Pemuda yang masih belajar untuk hidup dalam sunnah dan tuntunan Rasul-Nya. Pemuda yang masih memantaskan diri untuk memasuki Jannah-Nya.

Damai dalam Ridho-Nya

Posted: August 17, 2015 in Puisi
Tags: , , ,

Kasihku,

Dengarkanlah aku yang kini di sampingmu,

Aku bukanlah raja,

Aku juga bukanlah penguasa,

Aku juga bukanlah pemilik harta yang melimpah,

Aku hanyalah manusia,

Yang terlahir dari sebuah kesederhanaan

Yang berjubahkan kerendahhatian

Dan bertahtakan kedermawanan dari kedua orang tuaku,

Kasihku,

Madu yang menjadi pemanis hidupku,

Aku memilihmu,

Karena aku yakin,

Tuhanku,

Telah mengenalkanku padaku ketika jiwa diciptakan

Dan Tuhanku,

Telah memilihkanmu padaku ketika ruh kita ditiupkan

Mawarku,

Yang dalam merahmu tersimpan keberanian,

Aku hanya membawa iman dalam cinta ini

Dan aku tidak banyak memberikan harta

Namun, aku yakin Tuhanku tak akan pernah lupa

Bahwa dua rizki akan dipertemukan dalam kebaikan

Anggurku,

Yang tidak memabukkan,

Lilinku,

Yang menjadi penerang dalam gelapnya malam hatiku,

Tak banyak yang bias aku bagi,

Karena aku tahu,

Aku hanyalah manusia yang belajar darimu

Dan engkau pun adalah manusia yang belajar dariku

Belajar memahami satu dengan lainnya

Belajar mengejar bahu satu dengan lainnya

Bahkan, belajar menutupi kekurangan satu dengan lainnya

Cintaku,

Yang membawakan racun dan penawar di kedua tangannya

Tidak ada sebuah kesempurnaan

Kecuali, Ia yang memberikan kesempurnaan itu,

Tak pelak pula,

Kita pun berharap hanya kesempurnaan-Nya yang hadir

Dan membawa layar ini terkembang dalam surga-Nya,

Api dan airku,

Biarkan aku berbisik padamu,

“Gapailah ridho dalam keridhaan-Nya bersamaku”

Yogyakarta, 2 Dzulqa’dah 1436 H

“Muhibbi-Mu yang belajar akan mengenal kesempurnaan ciptaanMu, muhibbi-Mu yang belajar menjadi penyair dalam syair-syair indah yang terlepas dalam renungan tidurnya”

Keagungan RamadhanMu

Posted: May 30, 2015 in Puisi
Tags: , , , ,

Kau pun kini akan datang dan menyapa

Membawa salam rindu dan kedamaian bersama bulanMu

Bulan yang penuh rahmat dan ridho dariMu

Bulan yang di dalamnya berlimpah keberkahan dan hikmah

Bulan yang di dalamnya ada malam turunnya Al Quran

Bulan yang di dalamnya Engkau ajarkan rasa kasih dan sayang

Bulan yang di dalamnya terkandung makna kesabaran

Bulan yang di dalamnya terkandung makna kebersamaan

Bulan yang di dalamnya memberikan rasa ukhuwah

Benim Allah

Bulanmu itu akan datang

Kembali menyambut hambamu yang selalu merindukan pertemuan ini

Benim Allah

Ramadhan, bulan yang di dalamnya engkau berikan hari

Hari yang melebih kebaikan 1000 bulan

Hari yang di dalamnya penuh dengan ketenangan

Hari di kala kedamaian berada di sekitarnya

Benim Allah

RamadhanMu akan datang, memberi sapa kelembutan

RamadhanMu akan hadir, memberi salam kesejukan

Benim Allah

RamadhanMu akan hadir, memberi ketenangan di hati ummat Muhammad

Ramadhan,

Bulan yang penuh maghfirah, di kala pintu taubat dibuka selebarnya

Bulan yang penuh rahmat, di kala pintu Jannah terbuka bagi ummat Muhammad yang taat

Benim Allah,

RamadhanMu bagaikan pembersih atas kerak yang lama telah menjangkiti hati ini

RamadhanMu adalah bulan muhasabah

Dan bulan yang menjadikan hamba untuk belajar merubah dirinya terus dan terus lebih baik

Rabbi,

Sampaikanlah rindu ini pada bulan itu,

Hingga kami mampu berada di dalamnya, mati di dalamnya,

dan hidup dalam kesempurnaan bulanMu ini

Ucapan-Selamat-Tahun-Baru-Islam-1-1024x768

Love You All My Brothers and Sisters in Islam

Tidak terasa, ummat Islam kini telah memasuki Bulan Muharram kembali namun dengan angka tahun yang berbeda yaitu 1436 H. Tahun Baru Qomariyah yang baru dimasuki beberapa hari yang lalu, menjadi momentum tersendiri bagi ummat muslim baik untuk melakukan evaluasi atau bermuhasabah, merayakan dengan suka cita, bahkan menggelar doa bersama sebagai wujud dari ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memperkenankan ummat Islam ini terus berada dalam perlindunganNya hingga saat ini. Pada umumnya, dalam setiap perayaan tahun baru, akan dilakukan dengan penuh riuh bahkan dengan bunyi-bunyian terompet yang membahana di setiap persimpangan ataupun di setiap pusat-pusat kota. Namun, tidak dengan tahun baru Islam yang begitu sangat bermakna mendalam bagi ummat muslim. Tahun Baru Islam yang jatuh pada tanggal 1 Muharram diperingati dengan penuh khidmat dengan begitu banyaknya kajian, tausiyah, bahkan mabit-mabit yang kerap dilakukan sebagai upaya untuk menyadarkan kembali bagi ummat Islam di manapun berada, untuk kembali merangkul saudara-saudara se Iman dan se Islam untuk lebih meningkatkan ketaqwaan terhadap Allah SWT.
Sudah menjadi pengetahuan umum bagi kita bersama bahwa penanggalan Hijriah adalah penanggalan yang didasarkan pada pergerakan bulan terhadap bumi, atau sebagai istilah lebih umum dapat dikatakan sebagai penanggalan Qomariyyah. Namun apakah sekedar itu saja makna dari tahun Islam yakni Hijriah? Ataukah sebenarnya ada sebuah makna lain yang menjadikan kemudian ummat Islam menjadikan Hijriah sebagai tahun dalam sistem penanggalannya?

Sejarah Tahun Baru Hijriah
Acap kali sebagai orang awam diri ini ketika tahun baru Hijriah datang, mengucapkan “Selamat Tahun Baru 1436 Hijriah, semoga Allah menjadikan kemudahan bagi segala aktivitas kita setahun ke depan”, ataupun dengan ucapan dan doa yang lainnya. Ya tahun yang begitu istimewa ini memang benar-benar memiliki keistimewaan yang sangat besar di dalamnya. Dalam sejarahnya, tahun Islam digunakan pada masa Umar Bin Al Khattab sebagai sebuah ijma’ para ulama kala itu akibat sebuah surat balasan berupa kritik karena belum adanya penanggalan yang jelas pada pemerintahan ummat Islam kala itu. Dengan adanya ijma’ ini, menjadikan momentum bagi peristiwa hijrah sebagai titik acuan dalam awal mula perhitungan tahun dalam Islam, dan bukan dimulai dari bulan di mana peristiwa hijrah itu terjadi, atau bahkan dimulai ketika Al Quran diturunkan, ataupun ketika Nabi dilahirkan maupun ketika pembebasan kota Mekkah, ataupun ketika Nabi wafat . Makna Hijriah yang berkaitan erat dengan perisitwa Hijrah Nabi dan para sahabat menuju kota Madinah, diisyaratkan sebagai sebuah momentum bahwa Islam secara resmi menjadi sebuah badan hukum yang berdaulat keberadaannya secara global, memiliki hukum yang jelas dengan berlandaskan Al Quran dan As Sunnah, memiliki sistem pemerintahan yang resmi, serta mampu sejajar dengan kerajaan-kerajaan lain dalam percaturan Internasional kala itu [1]. Mengutip sebuah pemikiran Tamim Ansary dalam bukunya Dari Puncak Baghdad, beliau menuliskan:
“Peristiwa kepindahan kaum muslim dari Makkah ke Madinah dikenal sebagai Hijriah. 12 tahun kemudian, ketika umat Islam menciptakan kalender mereka sendiri, mereka menghitungnya dari peristiwa Hijrah, karena meraka rasa hal ini menandai poros sejarah, titik balik nasib mereka, momen yang membagi semua waktu menjadi sebelum dan sesudah Hijriah. Perhitungan tanggal bukan dari hari lahir atau kematian pengemban risalah, namun dari peristiwa Hijrah“

Dari sitiran kalimat ini, menjadi jelas dan sangat gamblang bagi kita semua khususnya ummat Islam, bahwa peristiwa hijrah dan penamaan tahun Hijriah merupakan sebuah peristiwa yang sebaiknya menjadikan titik balik perubahan menuju arah perbaikan, menjadikan sebuah titik tolak untuk kembali menuju jalan yang sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah. Ibarat sebuah pesawat, tahun baru Hijriah bagaikan sebuah pesawat dengan kualitas yang kembali diperbaharui dan memiliki nuansa megah, yang seharusnya kembali dihias untuk menjadikan penumpang di dalamnya nyaman dalam mengarungi bumi Allah selama 11 bulan ke depan hingga pada akhirnya dapat kembali bertemu dengan tahun Hijriah yang akan datang. Maka hiasan yang tepat, adalah dengan bermuhasabah dan menghiasi serta memperbaharui akhlak an semangat yang akan di bawa selama satu tahun ke depannya. Lalu cukupkah sampai di sini ummat Islam memahami makna mendalam dari tahun Hijriah? Tentu saja tidak.

Dimensi Berhijrah adalah Dimensi Membangun Ukhuwah
Dalam memaknai Hijriah, tidaklah cukup jika sampai hanya didefinisi ataupun sejarah yang ada di dalamnya. Namun lebih luas, memaknai Hijriah ataupun momentum Hijrahnya Rasulullah dan para sahabat, haruslah pada dimensi yang lebih luas, yaitu dimensi Al Ukhuwah Al Islamiyah. Dimensi persaudaraan dalam hal ini harus menjadi yang utama dan diutamakan, karena tahun baru Islam ini bukanlah hanya milik satu golongan ataupun satu suku, atau bahkan satu ras saja, namun tahun baru Hijriah merupakan tahun yang dimiliki oleh ummat Islam yang harus dilihat dan dikontekstualkan dengan keadaan ummat Islam global saat ini. Kembali menyitir sebuah pemikiran Tamim Ansary dalam bukunya Dari Puncak Baghdad, beliau menuliskan:
“Apa yang membuat perpindahan dari satu kota ke kota lain begitu penting? Hijrah menempati kedudukan penting diantara peristiwa dalam sejarah Islam karena menandai lahirnya komunitas muslim, ummah, sebagaimana penyebutannya dalam Islam. Orang-orang yang bergabung dengan komunitas di Madinah meninggalkan ikatan kesukuan dan menerima kelompok baru ini sebagai ikatan transenden. Hal ini merupakan proyek sosial yang bersifat ibadah dan berdimensi epik”

Peristiwa hijrah bukan menjadi sebuah momentum yang tidak begitu mengharukan. Momentum yang terjadi di kala itu adalah momentum untuk ikhlas bagi Kaum Muhajirin untuk meninggalkan setiap harta, ataupun sanak famili yang berada di Mekkah untuk bersama-sama Rasulullah berhijrah ke Madinah, dan momentum persaudaraan atau Al Ukhuwah bagi Kaum Anshar yang menerima Rasulullah dan para sahabatnya menjadi satu bagian dari kehidupan mereka di Madinah. Peristiwa hijrah yang terjadi juga menjadikan sebuah momentum yang tidak kalah penting yaitu Muakkhoh, yang mana Rasulullah mempersaudarakan Kaum Muhajirin dengan Kaum Anshar yang pada akhirnya persaudaraan ini menghasilkan kekuatan baru bagi kaum muslim kala itu, sebuah kekuatan untuk saling menghargai, sebuah kekuatan untuk saling mendahulukan (itsar) terhadap saudaranya, bahkan sebuah kekuatan untuk saling menguatkan satu saudara dengan saudara lainnya karena bagaikan sebuah anggota tubuh yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Lalu saudaraku, apakah momentum ini juga terasa dalam benak-benak qolbu kita yang setiap kali merasakan perubahan tahun Hijriah? Adakah kemudian kita mulai mau melepaskan ikatan kesukuan ataupun ikatan ke-an lainnya untuk kemudian mau bersama-sama atas nama Al Ukhuwah menguatkan barisan ummat Islam dan menjadikan ikatan transenden karena kecintaan kepada Allah sebagai bagian pengisi dalam menghijrahkan diri ini menjadi hamba yang benar-benar saling bertakzim karena Allah SWT? Lebih luas lagi, momentum pergantian Hijriah ini menjadikan hati-hati ini semakin terikat dan dekat dengan saudara-saudara se-Iman dan se-Islam dengan melepas semua baju ataupun ikatan-ikatan lainnya, dan hanya menjadikan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai ikatan inti yang tidak mudah terlepas dan tidak mudah untuk diadu domba bahkan dipecah belahkan hanya karena nafsu ataupun godaan syaitan semata.
Momentum pergantian Hijriah juga menjadi momentum untuk kembali melihat saudara-saudara dalam satu iman dan Islam, yakni saudara-saudara di Palestina, Libya, Suriah, Afghanistan, Mesir, dan negara-negara Islam lainnya, yang mungkin sampai saat ini, secara lahir mereka merayakan momentum pergantian tahun baru Hijriah 1436, namun secara batin masih dalam kekuasaan tirani-tirani ataupun mungkin saat ini mereka masih terintimidasi dan belum sepenuhnya merdeka, layaknya saudara di Palestina? Saudaraku, sesungguhnya begitu rasa syukur ini terus terpanjat untukNya, karena saat ini pergantian tahun baru 1436 Hijriah dapat dirasakan secara damai dan penuh khidmat. Maka menjadi sebuah keharusan bagi ummat Islam, menjadikan momentum ini sebagai momentum merapikan shaf-shaf barisannya dan menguatkan kembali jalinan dan bingkaian Al Ukhuwah Al Islamiyah di manapun mereka berada dalam harapan memberikan keberkahan bagi ummat manusia.

Tahun Baru 1436 Hijriah: Tahun Membangun Kembali Komunitas Komunal
Islam adalah agama yang begitu toleran serta mampu membangun dan mengakomodir fitrah manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk indvidu. Ya, sejatinya kedua fitrah ini pun Allah dalam Al Quran maupun Rasulullah mengakui dan mensyiratkannya. Dalam Al Quran, Surat Ali Imran ayat 103, Allah berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk” (QS: Ali Imran Ayat: 103)

Rasulullah SAW. pun bersabda:
“Tidaklah beriman seseorang diantara kalian hingga ia (dapat) mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari)

Dari keduanya pun dapat dipahami bahwa manusia sebagai makhluk individu tidak akan bisa lepas dari sisi sebagai makhluk sosial, yaitu manusia yang membutuhkan manusia lain untuk kemudian membentuk komunitas dalam hal mencapai tujuannya. Begitu juga hikmah besar dari peristiwa Hijrah yang Rasulullah lakukan atas perintah Allah SWT. Dalam surah Al-Anfal ayat 72, Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan ke­pada­mu dalam (urusan pembelaan) agama, kamu wajib memberikan pertolongan, kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Hikmah terbesar dari peristiwa Hijrah adalah Rasulullah mampu membangun komunitas muslim yang beliau bina secara langsung dengan pembinaan Islam yang sangat kuat dan komprehensif. Adanya peristiwa hijrah ini, menjadikan batas-batas daerah ataupun kesukuan telah terhapuskan karena persaudaraan yang Rasulullah lakukan untuk membangun jiwa-jiwa persaudaraan agar mampu membangun Islam yang kokoh dan kuat. Selain itu, peristiwa Hijrah telah membawa perubahan dimensi yang luas, di mana ikatan transenden menjadi landasan ukhuwah dan menjadi ghirah dalam upaya membangun dan mengajak secara bersama-sama ummat manusia di belahan bumi lain melalui dakwah Islam untuk membangun komunitas Islam yang memberikan Rahmatan Lil Alamin. Menyitir kembali apa yang dituliskan oleh Tamim Ansary dalam bukunya Dari Puncak Baghdad, beliau menuliskan:
“Cukup jelas, Islam adalah sebuah agama juga ummahnya merupakan suatu entitas politik. Ya, Islam menentukan cara untuk menjadi baik dan ya, setiap muslim yang taat berharap untuk masuk surga dengan mengikuti jalan itu, tapi bukannya berfokus pada keselamatan individu sendiri-sendiri, Islam menyajikan sebuah rencana untuk membangun masyarakat yang taat”

Menjadi sebuah landasan yang cukup jelas, bahwa Islam bukan sebuah agama yang menginginkan keselamatan individu-individu. Tidak, namun Islam lebih menyukai adanya sebuah komunitas yang terwajahkan dalam ummah sebagai sebuah entitas politik yang dapat hidup taat dan mendapatkan keselamatan secara berjamaah. Sama layaknya dengan konsep dakwah yang dilakukan, yakni dimulai dari individu, kemudian keluarga, berlanjut pada masyarakat, hingga kemudian memberikan dampak secara global yaitu negara dan dunia. Inilah yang telah diajarkan oleh Allah SWT. melalui Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW. Peristiwa Hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah pun telah mengajarkan ummat di kala ini, bahwa peristiwa ini telah menjadikan Islam sebagai sebuah agama bahkan sebagai entitas daulah yang secara utuh menyajikan tatanan masyarakat komunal yang sejajar dan setara dengan masyarakat kerajaan-kerajaan lainnya kala itu, bahkan memiliki sebuah entitas sendiri yaitu masyarakat yang terbangun dalam entitas komunal yang memiliki ketaatan kepada Rabb Semesta Alam, yaitu Allah SWT. Maka besar harapan, dengan adanya pergantian tahun baru 1436 Hijriah ini, maka entitas komunal masyarakat Islam yang taat, mencintai saudara se Iman dan se Islam, memiliki sikap toleransi, memberikan keberkahan bagi masyarakat di sekitarnya dapat kembali terbangun. Pergantian tahun baru Islam 1436 H dapat bermakna untuk menghidupkan kembali masyarakat yang taat serta mampu menghilangkan ikatan-ikatan lainnya serta menjadikan ikatan transenden atas kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya hanya sebagai ikatan sejati untuk membangun negeri yang lebih baik dan bermanfaat secara global.

Selamat Tahun Baru 1436 Hijriah
Saudara-saudara di Seluruh Dunia
Semoga momentum pergantian ini menjadikan hati kita terikat dengan sebuah
Ikatan Transenden
Karena kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya
dan mampu melepas ikatan-ikatan yang hanya bersifat dunia dan kenikmatan semata
Semoga Allah mengampuni dosa penulis
dan semoga Allah mempertemukan kita semua dalam kesempurnaan jannah-Nya

[1] Mika, W. 2013. Pengertian danSejarah Tahun Baru Hijriah, serta Hukum Merayakannya. http://www.jadipintar.com/2013/11/Pengertian-Dan-Sejarah-Tahun-Baru-Hijriah-Serta-HukumMerayakannya.html. Diakses pada 26 Oktober 2014.