Sebagai orang yang beriman dan percaya pada rukun Iman, maka mustahil bagi kita untuk kemudian mengabaikan ataupun mungkin tidak mengambil ‘ibrah dari setiap peristiwa dan kejadian yang Allah berikan bagi nabi dan rasul-Nya, termasuk pula Nabi Ibrahim AS. Ummat Muslim di seluruh dunia pun, pada akhirnya akan kembali melangitkan takbir dan merayakan hari besarnya yakni ‘Idul Adha, yang akan jatuh pada 10 Dzulhijjah. Bagi saya pribadi, tidak ingin hanya karena perbedaan tanggal jatuhnya hari raya tersebut menjadikan kita lupa untuk mengambil hikmah dan pelajaran yang telah Nabi Ibrahim ajarkan melalui peristiwa tersebut.
Dari keturunan Nabi Ibrahim AS., Allah memberikan rahmat yakni banyaknya nabi dan rasul yang berasal dari garis keturunan beliau. Bahkan Rasulullah SAW. pun jika ditarik garis keturunan ke atas, maka Rasulullah memiliki garis keturunan Nabi Ibrahim AS. Nabi Ibrahim adalah seorang nabi yang terlahir dari keluarga dengan seorang ayah yang merupakan pembuat patung berhala di kala zaman penguasa Raja Namrud. Namun, hal tersebut tidak membuat Nabi Ibrahim mengikuti agama dan keyakinan ayahnya. Adalah hidayah dan mukjizat dari Allah SWT., Nabi Ibrahim terlahir dengan sikap kritis dan kecerdasan yang luar biasa. Ia mencari sendiri akan kebenaran Rabb Semesta Alam. Dalam Al-Qur’an dikisahkan pada mulanya Nabi Ibrahim AS. mengira matahari adalah Tuhannya, namun ketika malam datang, ia digantikan oleh bulan dan bintang, maka Nabi Ibrahim pun mengira bahwa tidaklah mungkin matahari sebagai tuhannya, namun bulan dan bintang lah tuhannya saat ini. Namun, tatkala malam berganti dengan siang, maka bulan dan bintang pun tiada, berganti matahari. Dengan akal yang Allah SWT. berikan, maka Nabi Ibrahim AS. yang masih muda saat itu, mencapai sebuah kesimpulan yang sangat luar biasa. Nabi Ibrahim AS. pun mengatakan bahwa Tuhannya adalah Dzat Maha Suci yang menciptakan alam semesta dan seluruh isinya, yang mempergantikan siang dan malam dengan kesempurnaan-Nya. Itulah sosok Nabi Ibrahim AS. pada masa mudanya yang sudah mampu untuk memberikan kesempurnaan jawaban dengan pemahaman yang Allah berikan melalui kecerdasan yang dimilikinya.
Kisah Nabi Ibrahim, tentu saja tidak cukup di sini. Lalu muncul pertanyaan dalam pribadi, apa yang membuatnya menjadi nabi dengan teladan yang memberikan pelajaran keikhlasan melalui peringatan ‘Idul Adha yang selalu diperingati dengan suka cita oleh seluruh umat Muslim di dunia tepatnya pada tanggal 10 Dzulhijjah?
Nabi Ibrahim dalam sejarah Islam dikisahkan menikah dengan seorang perempuan shalihah bernama, Siti Hajar. Dalam pernikahannya tersebut, Nabi Ibrahim dan Siti Hajar memiliki kesabaran yang luar biasa untuk terus memanjatkan doa agar kemudian Allah memberikan keturunan di usia senja mereka, yang kala itu usia Nabi Ibrahim mencapai 90 tahun. Dalam penantian mereka, doa kepada Allah SWT. terus mereka panjatkan, tanpa ada sebuah keraguan. Sebuah keyakinan akan setiap doa yang akan Allah berikan jawaban dan hal ini pun kemudian berbuah dengan kasih sayang Allah yang memberikan kelahiran seorang putra dari rahim Siti Hajar bernama Nabi Ismail. Sungguh sebuah perasaan yang luar biasa kala itu, seorang putra yang sudah dinantinya bertahun-tahun kini pun telah Allah anugerahkan. Namun, ternyata menginjak usia Nabi Ismail 7 tahun (namun dalam beberapa pendapat dikatakan berusia 13 tahun), Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih Nabi Ismail. Kisah ini Allah SWT. abadikan dalam Al Qur’an, Ash-Shaffat 100-107, yang artinya:
Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.(100)
Maka Kami beri Dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.(101)
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.(102)
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).(103)
Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,(104)
Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, Sesungguhnya demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. .(105)
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.(106)
dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.(107)
Dalam kisah tersebut jelaslah bahwa Nabi Ibrahim kemudian berdialog dengan Nabi Ismail dan menanyakan terkait pendapat Nabi Ismail akan perintah Allah tersebut. Apa yang kemudian terjadi adalah sebuah hikmah di mana seorang Nabi Ismail tidak menolak apa yang sudah diperintahkan Allah kepada ayahnya, Nabi Ibrahim, bahkan Nabi Ismail pun ikhlas jika hal ini merupakan perintah dari Rabb Semesta Alam. Allah SWT. pun pada akhirnya mengganti Nabi Ismail dengan hewan sembelihan lainnya. Hal inilah yang kemudian mendasari adanya hari raya ‘Idul Adha.
Namun, apa yang kemudian dapat diambil dari peristiwa tersebut?
Dari peristiwa tersebut, penulis mencoba untuk mengambil sebuah hikmah yang sekiranya dapat diambil dari perisitiwa tersebut.
1. Ketaatan dan kesabaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail terhadap perintah Allah SWT.
Berdasarkan kisah tersebut, maka kita sebagai umat muslim dapat melihat, bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail memiliki ketaatan yang penuh atas perintah Rabb-Nya. Tidak ada tawar menawar dalam menjalankan syari’at yang sudah Allah gariskan, hal ini terlihat meskipun berat atas perintah tersebut, namun Nabi Ibrahim tetap melakukannya sesuai dengan perintah yang diberikan. Hal ini harus menjadi semangat bagi kita, terutama penulis, untuk terus menjadikan diri sebagai seorang yang bertakwa dalam kekaffahan tanpa mencari alasan apapun untuk pembenaran karena emosi dan nafsu yang timbul dari diri kita sendiri.
2. Dialog santun Nabi Ibrahim kepada Nabi Ismail yang memperlihatkan pendidikan akhlak dan moral
Dalam masalah pendidikan akhlak dan moral, dialog antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail mengajarkan sebuah percakapan yang demokratis namun kemudian mengikat dan dipertanggungjawabkan. Kesantunan seorang Nabi Ibrahim yang notabene adalah seorang ayah menjadi sebuah pembelajaran bagaimana kemudian Nabi Ibrahim tetap mengajarkan dialog santun dan penuh akan pembelajaran moral dan akhlak. Nabi Ibrahim tidak semena-mena atau mungkin langsung memaksa, namun Nabi Ibrahim tetap menanyakan perihal perintah Allah tersebut kepada Nabi Ismail. Begitu pula Nabi Ismail, tidak kemudian menyatakan menolak dengan kasar, bahkan beliau pun menjawab dengan memberikan ketenangan kepada Nabi Ibrahim untuk kemudian menjalankan perintah Allah SWT. Hal inilah yang dapat diterapkan, bahwa pendidikan yang tepat dengan penguatan keagamaan akan menjadikan sebuah keluarga, bahkan komunikasi dalam keluarga menjadi tenang dan menenangkan.
‘Idul Adha bukanlah sekedar sebuah simbol perayaan hari raya saja, namun harus menjadi sebuah manifestasi dalam mengambil hikmah agar kemudian dapat membangun kehidupan yang lebih baik dan berkualitas ke depannya. ‘idul Adha tidak kemudian hanya menjadi sebuah ritual saja, namun kemudian harus dapat diambil esensi dari peristiwa yang melatarbelakanginya, bahkan harus menjadi refleksi bagi semua umat muslim untuk mengambil setiap ‘ibrah dari peristiwa yang telah terjadi. Semoga Allah selalu menjadikan kita sebagai orang yang selalu mengambil hikmah dalam setiap perisitwa dan selalu memberikan hidayah dalam setiap perjalanan kehidupan kita menuju Surga-Nya.
Daftar Acuan:
1. https://www.facebook.com/notes/quranic-explorer-kamus-indeks-al-quran/kisah-kesabaran-nabi-ismail-sejarah-hari-idul-adha/437286008444
2. http://www.dakwatuna.com/2013/10/14/40719/meneladani-jiwa-pembelajar-nabi-ibrahim-as/#ixzz3kaiAiHS0
3. http://supervisiaceh2012.blogspot.co.id/2013/12/konsep-pendidikan-dalam-surat-ash.html
Salam hormat,
Penulis
Yogyakarta, 16 September 2015
Pemuda yang masih terus mencari dan haus akan Ilmu. Pemuda yang masih belajar untuk hidup dalam sunnah dan tuntunan Rasul-Nya. Pemuda yang masih memantaskan diri untuk memasuki Jannah-Nya.